Kamis, 06 Oktober 2011

Pernikahan Beda Agama; Tinjauan Hukum Islam & Hukum Negara


Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, khususnya bila dilihat dari segi etnis / suku bangsa dan agama. Konsekuensinya, dalam menjalani kehidupannya masyarakat Indonesia dihadapkan kepada perbedaan – perbedaan dalam berbagai hal, mulai dari kebudayaan, cara pandang hidup dan interaksi antar individunya. Yang menjadi perhatian dari pemerintah dan komponen bangsa lainnya adalah masalah hubungan antar umat beragama. Salah satu persoalan dalam hubungan antar umat beragama ini adalah masalah Pernikahan Muslim dengan non-Muslim yang selanjutnya kita sebut sebagai “pernikahan beda agama’
Pernikahan merupakan bagian dari kemanusiaan seseorang, seorang muslim yang hidup di negara yang majemuk seperti ini hampir dipastikan sulit untuk menghindari dari persentuhan dan pergaulan dengan orang yang beda agama. Pada posisi seperti ini ketertarikan pria atau wanita Muslim dengan orang yang beda agama dengannya atau sebaliknya, yang berujung pada pernikahan hampir pasti tidak terelakkan. Dengan kata lain, persoalan pernikahan antar agama hampir pasti terjadi pada setiap masyarakat yang majemuk.
Keadaan masyarakat Indonesia yang majemuk menjadikan pergaulan di masyarakat semakin luas dan beragam, hal ini telah mengakibatkan pergeseran nilai agama yang lebih dinamis daripada yang terjadi pada masa lampau, seorang muslimin dan muslimat sekarang ini lebih berani untuk memilih pendamping hidup non-muslim. Hal ini tentu saja dianggap oleh masyarakat kita yang mayoritas beragama Islam sebagai penyalahan atau pergeseran nilai-nilai Islam yang ada. Tak jarang hal ini sering menimbulkan gejolak dan reaksi keras di kalangan masyarakat kita. Masalah ini menimbulkan perbedaan pendapat dari dua pihak pro dan kontra, masing-masing pihak memiliki argumen rasional maupun argumen logikal yang berasal dari penafsiran mereka masing-masing terhadap dalil-dalil Islam tentang pernikahan beda agama.
Pernikahan beda Agama dalam hukum Islam
Masalah pernikahan berbeda keyakinan ini sebenarnya terbagi dalam 2 kasus keadaan, antara lain:
Kasus 1:   Pernikahan antara laki-laki non-muslim dengan wanita muslim
Kasus 2:   Pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita non-muslim
Pada kasus 1 kedua pihak ulama sepakat untuk mengharamkan pernikahan yang terjadi pada keadaan seperti itu, seorang wanita muslim haram hukumnya dan pernikahannya tidak sah bila menikah dengan laki-laki non-muslim Al-Quran menjelaskan Dalam surat Al-Baqarah 221 Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (Surat Al-Baqarah Ayat 221)
Sedang pada kasus ke-2. Seorang laki-laki muslim dilarang menikah dengan wanita non-muslim kecuali wanita ahli kitab, seperti yang disebutkan dalam surat Al-Maidah ayat 5 Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.(Al-Maaidah Ayat 5)
Pada surat Al-Baqarah ayat 221 terang di jelaskan bahwa :Baik laki-laki ataupun perempuan memiliki larangan untuk menikahi atau dinikahkan oleh seorang musyrik.. dan dalam surat Al-Maidah di jelaskan kembali bagi  seorang laki-laki ,boleh menikahi AHLI KITAB. Namun terdapat beberapa pendapat bahwa ahli kitab di sini bukanlah  penganut injil,ataupun taurat yang ada pada saat ini.Ahli kitab yang dimaksudkan disini ialah mereka yang bersyahadat Mengakui adanya ALLAH  akan tetapi tidak mengakui adanya Muhamad.
Perkawinan beda Agama menurut hukum Negara:
Perkawinan di Indonesia diatur oleh UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Berdasarkan UU tersebut perkawinan di definisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karenanya dalam UU yang sama diatur bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu serta telah dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pendapat tentang  Perkawinan beda Agama:
· Seorang guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Dr. Muhammad Daud Ali (alm.) menjelaskan dalam bukunya yang bejudul “Perkawinan Antar Pemeluk Agama Yang Berbeda“.Perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama adalah penyimpangan dari pola umum perkawinan yang benar menurut hukum agama dan Undang-undang Perkawinan yang berlaku di tanah air kita. Untuk penyimpangan ini, kendatipun merupakan kenyataan dalam masyarakat, tidak perlu dibuat peraturan tersendiri, tidak perlu dilindungi oleh negara. Memberi perlindungan hukum pada warga negara yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Pancasila sebagai cita hukum bangsa dan kaidah fundamental negara serta hukum agama yang berlaku di Indonesia, pada pendapat saya selain tidak konstitusional, juga tidak legal.
· Prof. HM Rasjidi, menteri agama pertama RI, dalam artikelnya di Harian Abadi edisi 20 Agustus 1973, menyorot secara tajam RUU Perkawinan yang dalam pasal 10 ayat (2) disebutkan: “Perbedaan karena kebangsaan, suku, bangsa, negara asal, tempat asal, agama,        kepercayaan dan keturunan, tidak merupakan penghalang perkawinan.
Pasal dalam RUU tersebut jelas ingin mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pasal 16 yang menyatakan: “Lelaki dan wanita yang sudah dewasa, tanpa sesuatu pembatasan karena suku, kebangsaan dan agama, mempunyai hak untuk kawin dan membentuk satu keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dengan hubungan dengan perkawinan, selama dalam perkawinan dan dalam soal perceraian.”
khusus tentang pasal 16 tersebut, Hamka menulis kesimpulan yang sangat tajam: “Oleh sebab itu dianggap kafir, fasiq, dan zalim, orang-orang Islam yang meninggalkan hukum syariat Islam yang jelas nyata itu. lalu pindah bergantung kepada “Hak-hak Asasi Manusia” yang disahkan di Muktamar San Francisco, oleh sebagian anggota yang membuat “Hak-hak Asasi” sendiri karena jaminan itu tidak ada dalam agama yang mereka peluk.
Pernikahan Beda Agama yang ada pada saat ini:
Meskipun sudah dilarang, perkawinan beda agama masih terus dilakukan. Berbagai cara ditempuh, demi mendapatkan pengakuan dari Negara. ada beberapa cara yang populer ditempuh pasangan beda agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan.
  1. Pagi menikah sesuai agama laki-laki, siangnya menikah sesuai dengan agama perempuan.
  2. Salah satu dari calon pengantin baik laki-laki ataupun perempuannya mengalah mengikuti agama pasangannya.lalu setelah menikah dia kembali kepada agamanya.
  3. Menikah diluar negri
Untuk perkawinan beda agama yang ada pada saat ini, mantan Menteri Agama Quraish Shihab berpendapat agar dikembalikan kepada agama masing-masing. Yang jelas dalam jalinan pernikahan antara suami dan istri, pertama harus didasari atas persamaan agama dan keyakinan hidup. Namun pada kasus pernikahan beda agama, harus ada jaminan dari agama yang dipeluk masing-masing suami dan istri agar tetap menghormati agama pasangannya.  “Jadi jangan ada sikap saling menghalangi untuk menjalankan ibadah sesuai agamanya
Pendapat berbeda disampaikan pengajar hukum Islam di UI Farida Prihatini. Farida menegaskan bahwa MUI melarang perkawinan beda agama. Pada prinsipnya, bukan hanya agama Islam. “Semua agama tidak memperbolehkan kawin beda agama. Umatnya saja yang mencari peluang-peluang. Perkawinannya dianggap tidak sah, dianggap tidak ada perkwianan, tidak ada waris, anaknya juga ikut hubungan hukum dengan ibunya. Farida jg menilai Pemerintah tidak tegas. Meskipun UU tidak memperbolehkan kawin beda agama, tetapi Kantor Catatan Sipil bisa menerima pencatatan perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri. Padahal,Kantor Catatan Sipil merupakan produk negara. Dengan demikian, seharusnya yang dicatat KCS adalah sesuai dengan hukum Indonesia.  “Secara hukum tidak sah. Kalau kita melakukan perbuatan hukum di luar negeri, baru sah sesuai dengan hukum kita dan sesuai dengan hukum di negara tempat kita berada. Harusnya kantor catatan sipil tidak boleh melakukan pencatatan,
Kesimpulan
Larangan perkawinan  antar  pemeluk  agama  yang  berbeda  itu agaknya  dilatarbelakangi  oleh  harapan akan lahirnya sakinah dalam keluarga. Bagaimana mendidik anak-anak mereka.karena pada dasarnya seorang anak akan kebingungan untuk mengikuti ayahnya atau ibunya.Perkawinan baru  akan  langgeng  dan  tenteram jika  terdapat  kesesuaian  pandangan  hidup  antar  suami dan istri, karena jangankan  perbedaan  agama,  perbedaan  budaya, atau  bahkan  perbedaan  tingkat  pendidikan  antara suami dan istri pun tidak  jarang  mengakibatkan  kegagalan  perkawinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar